Jumat, 23 April 2010

LEGENDA JAKA POLENG-BREBES

The Legend of Brebes
Laksito adalah seorang pemuda tampan dan berbadan tegap. Dia bekerja sebagai tukang pelihara kuda milik Bupati Brebes. Kanjeng Bupati suka akan hasil kerja Laksito yang rajin dan selalu bersih.
Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa Laksito pergi ke sawah untuk mencari rumput.
“Bi…nyong ning sawah ndisit! (Bi…saya ke sawah dulu!)”. Teriak Laksito berpamitan pada bi Ojah, tukang masak Kanjeng Bupati.
“Ya cah bagus, ati-ati yah…(Ya anak ganteng, hati-hati yah…)”. Jawab Bibi sambil melakukan sesuatu di dapur tanpa menoleh ke Laksito.
Sambil membawa arit dan karung, Laksito berjalan menyusuri pematang-pematang sawah mencari rumput-rumput yang lebat dan hijau. Setelah sampai disebuah tanah lapang, dia bergumam. “Ehm, ning kene kyeeh sukete ijo-ijo nemen, pasti si genta dokoh mangane. (Ehm, di sini niih rumputnya hijau-hijau banget, pasti si genta lahap makannya)”.
Kemudian Laksito mulai mengambil kuda-kuda untuk membabat semua rumput yang ada di depannya. Sesekali Laksito mengusap keringat yang ada di dahi dengan punggung tangannya. Dia terus membabat rumput tanpa kenal lelah.
Setelah satu karung sudah penuh, Laksito seperti biasa beristirahat dibawah pohon yang rindang. Ditenggaknya air kendi yang dibawa dari rumah. Keringat bercucuran membasahi raut muka dan tubuhnya. Laksito setengah berbaring sambil mengipas-ngipaskan sebatang daun yang jatuh dari pohon.
Saat Laksito hendak memejamkan mata, dia melihat ada seekor ular poleng dengan bermahkota intan. Laksito jadi penasaran untuk mengikuti ular tersebut. Laksito berjalan pelan-pelan agar tidak terlihat oleh tersebut. Ular tersebut kemudian berhenti disebuah semak-semak. Laksito ikut berhenti. Matanya sangat serius memandangi ular poleng yang sedang melakukan pelepasan kulit.
Setelah beberapa menit, ular tersebut berhasil melepaskan kulit. Laksito mendekati tempat tersebut setelah ular itu pergi. Kemudian Laksito mengambil bekas kulit ulat poleng itu.
Laksito kembali ke tempat semula untuk melanjutkan pekerjaannya. Dua karung harus ia penuhi.
“Uhh, akhire kebek juga, balik ah, wis ngelih (Uhh, akhirnya penuh juga, pulang ah, sudah lapar).” Gumam Laksito sembari mengikat kedua.
Laksito beristirahat sebentar, kemudian pulang.
……………………ooo…………………….
“Bi, aku ngelih bi, pan mangan (Bi, aku laper bi, mau makan)” Seru Laksito.
“Lho To, kowen ning ndi! (Lho To, kamu di mana!)”. Teriak Bi Ojah karena terkejut.
“Nyong neng iringane Bibi! (Saya di samping Bibi!)” Kata Laksito heran.
“Aja guyon toh To… Bibi mboten weruh kowe neng kene…(Jangan bercanda dong To…Bibi tidak melihat kamu ada di sini)”. Kata bibi agak ketakutan.
“ Nyong neng kene Bi..(Aku di sini Bi…)”. Kata Laksito dengan memegang tangan Bibi Ijah.
Bibi Ojah kaget buka kepalang ketika dia merasakan ada tangan yang memegang tangannya tapi tidak terlihat. Bi Ojang langsung teriak masuk ke padepokan Kanjeng Bupati untuk mengadu.
Selang beberapa menit, Bi Ojang kembali ke dapur bersama Kanjeng Bupati.
“Neng endi Bi…?” (di mana bi…). Tanya Kanjeng Bupati penasaran atas cerita Bi Ojah.
“Ampun Kanjeng, suarane neng kene Gusti.” (Ampu Kanjeng, suaranya tadi di sini). Bi Ojang mencoba meyakinkan Kanjeng Bupati.
“Laksito! Kowen neng ndi?” (Laksito! Kamu di mana?). Teriak Kanjeng Bupati.
“Ampun Gusti Kanjeng, hamba neng kene, neng iringane Gusti.” (Ampun Tuan, saya di sini, di samping tuan). Jawab Laksito.
“Lho lho lho, ko kowen ora katon?” seru Kanjeng terperanjat sangat terkejut.
“Ampun Gusti, hamba ora ngerti”. Jawab Laksito bingung.
Sejenak Kanjeng Gusti Bupati merenung.
“ana kejadian apa sing kowen alami sedurunge kiye?”. Tanya Gusti Bupati.
Laksito terdiam sejenak mencoba berfikir.
“Oh iya Gusti, mau, sewaktu hamba luruh suket neng sawah, hamba weruh ula poleng sing endase ana intan mengkilat repan nglungsumi. Terus hamba perhatikna lan hamba jukut kulite”. Cerita Laksito atas kejadian tadi di sawah.
“Oh…kaya kuwe, terus kulite neng endi?” Tanya Gusti Kanjeng.
“Neng sake hamba”.
“Coba kowen tok na terus dokon ning meja”. Pinta Gusti.
“Nggih Gusti.” Laksito menuruti.
Benar juga, setelah kulit tersebut dikeluarkan dan diletakkan di meja, seketika tubuh Laksito terlihat. Ini membuat Bi Ojah yang sedari tadi diam, langsung terperanjat.
“Wah Laksito, kowen wis katon”. Teriak Bi Ojah.
Laksito tersenyum lega. Kanjeng Gusti Bupati mengangguk mengerti.
“To, kulit ula kuwe aku simpen”. Kata Gusti sambil telunjuknya menunjuk kulit ular tersebut memberi isyarat kepada Laksito untuk diambilkan dan kemudian diserahkan ke Gusti Bupati.
Dengan halus Laksito menolaknya.
“Ampun Gusti, kulit kiye ndeke hamba”.
“Pan nggo apa To, laka gunane denggo kowen.” Bujuk Gusti Bupati.
“Ampun Gusti, karena sing nemu aku, dadi aku sing berhak nduweni benda kiye”. Jawab Laksito.
“Laka gunane ning kowen, cepet wekena aku!”. Teriak Gusti memaksa Laksito.
“Ampun Gusti, hamba ora bisa”. Kekeh Laksito.
Kemudian terjadilah perebutan antara Gusti Bupati dan Laksito. Karena Laksito takut benda itu jatuh ke tangan Gusti Bupati, Laksito buru-buru memasukkan benda itu ke mulutnya, dan tanpa disengaja benda tersebut tertelan.
Gusti Bupati hanya bisa menahan emosinya, saat melihat benda itu tertelan. Perlahan-lahan tubuh Laksito menghilang.
“Maafna hamba Gusti, hamba wis wani karo Gusti”. Kata Laksito lirih.
Bupati menghela nafas panjang.
“Aku nyesel wis maksa kowen Laksito, sebenere memang kuwe hak-e kowen, tapi aku maksa, dadi akhire kaya kiye, aku nyesel, maafna aku Laksito.” Sesal Gusti Bupati. Lalu Gusti melanjutkan berkata; “Kiye mungkin wis takdire kowen Laksito, kowen wujude wis laka. Aku njaluk karo kowen, tolong kowen jaga rakyate aku yaiku rakyat Brebes. Karena kowen esih Jejaka lan mangan kulit ula poleng, dadi saiki kowen tak arani Jaka Poleng.